Rabu, 13 Oktober 2010

Hari Ini Dan Esok

Mentari terburai sinarnya menggamit bumi, gelap berangsur hilang, embun berlahan sirna, pagi tidak lagi buta…Deru mesin mulai ramai hiasi kota, semua tengah bergerak, aku juga musti bergerak, jalanan menantiku.            Wajah wajah muram memburu waktu untuk meraih sesuatu, berdesakan di sempitnya trotoar, kakiku tersendat dalam langkah langkah kecil, menuntun sepedah dengan sekotak susu dingin.Pagi yang indah, susu terjual dengan mudah, kusandarkan sepedah di tepi jalan bernaung pohon asam jawa yang mungkin telah berusia senja.            “susu bang, yang coklat” seorang wanita muda mengambil seplastik susu dari dalam keranjang, seraya ulurkan tanganya beserta lembaran uang.Tanpa tambahan kalimat apapun dia duduk sedepa dariku,dengan arah yang berlawanan. Seperti ada yang diamati, sebuah obyek dibelakangku.Perlahan kutengok kebelakang…hmmm, kuburan, tidak ada yang lain, kecuali 2 orang memegang sapu dan sabit.Kutatap lagi wanita itu, dia tidak bergeming, sambil masukan cairan coklat kemulutnya dengan sedotan.Tidak ada yang aneh pri, kataku dalam hati.Kutinggalkan wanita itu, susu tak sabar untuk kujajakan.                        Jalanan tiada lagi ramah, terik mengintimidasi dengan panasnya, debu membumbung membentuk guratan diudara yang kering.Es tak memiliki kekuatan menjadi beku, bahkan untuk sekedar dingin.Wanita pagi tadi belum beranjak dari bayangan pohon asam tepi kuburan, ingin aku bertanya atas perbuatanya hari ini, namun untuk apa??.Lama aku bergelut dengan argument argument dikepalaku yang mungkin hal bodoh untuk kulakukan.Sepeda kupaksa berhenti, ada banyak hal yang mesti kuketahui, aku hanya butuh 10 detik untuk jawabanya, waktuku masih tersisa sepanjang hari untuk mencapai rumah kontrakanku.Dia masih disana, tak bergerak, tak ada kesibukan di kuburan tepi jalanan yang tak pernah terlelap.Kuputar sepedahku mencapainya, kususun banyak kata menghindari kecanggungan ditengah perjalanan, mengingat daganganku telah lenyap berganti wujud menjadi kertas dan logam bergambar.                        Suara derit rantai sepedaku mengantar tatapanya kearahku tak beralih hingga aku duduk disampingnya menatap puing puing batu pualam berukir.            “apa yang kau lihat?” kulontarkan sebuah tanya wakili keingintahuanku.            “hari esok”“uhuk2…” tenggorokanku tersekat  mendengar jawabanya..“kenapa, apakah kau tak percaya akan hari esok?” sesaat aku larut akan suasana yang ia ciptakan, dimana ia menggambarkan hari esok dengan kehidupan di kuburan yang menghadap kami.Kini ia berdiri mendekati kuburan, menjauhiku…lalu apa yang mesti kulakukan, aku telah melanggar komitmen jika aku mengikutinya, aku telah duduk berpuluh puluh detik disini.Aku tak punya pilihan kini, wanita itu menembus deretan batu nisan terdepan, ku kejar langkahnya…            “apakah kamu setiap hari kemari?”            “ya, mungkin sejak seminggu ini” jawabnya tanpa menolehku, sebuah kuburan penuh lumut menjadi tempat mendarat gaun jingganya.            “kenapa kau mengikutiku?”            “aku…mmmm, aku juga tidak yakin atas langkahku sejak pagi bertemu danganmu” aku tidak memiliki jawaban untuk pertanyaanya            “aku Rositta …panggil saja Sita”            “Supri” kini ia tersenyum, senyum pertamanya sejak kami berjumpa, sangat cantik untuk seorang penjaja susu…fiuuuh.. segera kukubur anganku bersama mayat mayat dibawah kakiku.Kami terdiam, anginpun diam, jalanan tak bersuara, kaki sita menyeret daun kamboja yang telah lama gugur, langkahnya mendekatiku, perlahan duduk disampingku, kami sejajar, keringat dingin menyapu seluruh kulitku…Sita teramat tenang, entah apa yang ia fikirkan, sedang aku mulai menyukainya.            “Tuhan mengirimkan seorang penjual susu untuk sesaat menemaniku…yang bahkan dia sendiri tak mengerti kedatanganya kemari” gumamnya, seakan aku disampingnya telah tak bernyawa.            “apa yang kamu sukai dari tempat ini?”            “kerinduan, atau ketakutan…semua terlalu samar, aku membiasakan dalam kesendirian, karena semua akan berakhir disini, ditempat yang teramat jarang kita hampiri dalam hidup”            “baru kali ini aku menjumpai seseorang dengan pemikiran sepertimu”            “kita tidak beruntung”            “maksudmu?..” sita menatapku teramat lekat membingkai pertanyaan terakhirku.Tangan mungilnya yang berjari panjang menindih tanganku , meremas seperti luapan penyesalan, semua semakin membingungkan.            “seharusnya kamu tidak berjumpa denganku, dan aku tidak perlu sesaatpun menumbuhkan rasa sayang” sita tidak melepas tanganya, entah sengaja atau telah lupa…jari jariku mulai kaku tertekuk, namun tak berani kutarik, sita terlalu bercahaya.Sore kuhabiskan bersamanya, singkapkan kesunyian aroma kematian.             ”sebentar lagi mentari meminta sinarnya dari sekitar kita” sita berdiri dari sampingku, menatapku sejenak, lalu isyaratkanku mengikuti langkahnya keluar dari kuburan.            “kamu mau pulang”            “ya, itu mobil sopirku, dia menantiku setiap hari dari kejauhan” sita menunjuk sebuah mobil hitam ditepi tiang listrik dengan lelaki yang bersandar di tepi kananya.            “besok kamu kemari lagi?”            “pasti, aku akan datang lebih pagi, menanti supri” senyumnya antarkan sita memasuki ruangan dingin berdinding besi.Semua terlalu cepat, mobil sita merayap meninggalkanku yang mulai dibalut kerinduan.Tak sabar kunanti pagi…jalanan seakan iringi aku bernyanyi.Cinta begitu luar biasa, merubah batuan selunak embun, memacu angin menjadi badai, menciptakan tawa dan ribuan perasaan yang tak memiliki sebutan dalam tata bahasa.             Malam ini menjadi malam yang membenci tidur, esok aku tak ingin menjajakan susu, aku memerlukan libur, telah lama aku melupakanya, aku ingin sepanjang hari temani sita menikmati senyap kuburan.Sedetikpun aku tak bisa istirahatkan kepalaku dari wajah sita yang berlarian, …kumohon berhentilah mengacak acak kepalaku, aku mulai malu degan burung penghuni malam, yang berkicau seakan tertawakan kesulitanku terlelap.             Aku menjadi lelaki terawal yang terbangun di gang kontrakanku, atau mungkin gelap malam tak mampu membuaiku dalam mimpi mimpi yang telah bosan kusimak.Kaca di dinding setia tampilkan diriku mematut diri…meyakinkanku atas penampilan menemui sita di teduh bayang kambojaMentari meninggi, sinarnya mencapai bulir bulir air yang digendong angin dari tempat yang tinggi, basahi tanah kering membaurkan bau basah kabarkan hari telah pagi.             Sepeda lelah berderit, susuri kasar aspal mati, pucuk asam tandakan kuburan tempat senyum sita tertinggal, sita belum nampak, aku terlalu cepat, rindu memaksaku terduduk disini sepagi ini.Kuburan ramai oleh manusia berbaju gelap, ada yang mati hari ini.Berulang kuputar pandangan, sita belum nampak, sementara hari terus beranjak, orang orang berlalu lalang dari pemakaman, mulai pulang.Sita tetap tak nampak, aku mulai tak wangi, keringatku digerus panas siang jalanan yang kejam.Aku tak mampu menunggu lebih lama, ini tengah hari, tepat dimana aku memutuskan menghampiri sita kemarin.5 orang tersisa digundukan penghias nisan, beberapa jongkok, tak ada keinginan beranjak.Mungkin ada sesuatu disana, sesuatu yang sama untuk alasanku menanti dengan tanpa rasa bosan ditempat ini.             Kuberanikan diri mendekati gundukan tanah baru yang telah sepi, sekedar untuk mengisi kejengahanku menanti sita, wanita yang menghapus sepi malam.            “bung” suara lelaki di belakangku membuat langkahku terhenti. Sosok yang kemarin kujumpai, sopir sita. Mungkin hendak menyampaikan keterlambatan juraganya.Lincah ia hindari pucuk pucuk nisan yang merintangi hampiriku.            “menanti non sita?”            “ya, Dia tidak datang?”            “beliau datang lebih pagi dari anda” tubuhku dituntunya kesebuah makam yang sesaat tadi tertunda kuamati.Disana terpahat di nisan pualam hijau “Rossita sekar indra, 17 mei 1987 – 22 september 2010 “ oh tidaaaaaak….lututku kehilangan kekuatanya, kini terlipat menghujam tanah membasah.            “beliau telah divonis oleh medis hidupnya tidak akan mencapai seminggu, jantungnya telah dicangkok, dan tadi pagi jantungnya berhenti memompa” tangan sopir itu menepuk nepuk bahuku, kemudian pergi.            kita tidak beruntung…tapi kamu mulai terbiasa, sedang aku mulai mencintaimu, kini aku akan membiasakan menemanimu berbincang dengan batu batu pualam yang bercerita akan hari esok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar