Rabu, 13 Oktober 2010

Ruang Hati Dua Cinta

Kutiup debu yang menutupi buku yang kupegang. Debunya cukup tebal memenuhi setiap sisi buku ini. Ini adalah buku diaryku tujuh tahun yang lalu. Buku diaryku yang pertama kumiliki dan kuisi dengan berjuta kisah yang berkesan hingga menjadi sebuah kenangan manis di hati. Pffuuh...debunya beterbangan di sekitarku. Aku sampai batuk-batuk karena debu yang masuk ke dalam saluran pernafasanku. Lap basah yang sudah kusiapkan tadi langsung kugunakan untuk membersihkan debu yang masih tersisa. Baunya sudah apek.
Hari ini aku memang sedang rajin-rajinnya membereskan rumah. Mama bilang, kamarku akan segera direnovasi untuk dijadikan kamar kost. Karena empat tahun ke depan aku akan pindah keluar kota untuk meneruskan kuliah. Jadilah aku harus membongkar semua barang-barang di kamarku dan memindahkannya ke ruangan lain untuk sementara waktu.
Tak terasa sudah satu jam berlalu, pekerjaanku terhenti karena buku diary ini. Buku diary yang kutemukan di bawah kasur. Aku lupa kalau aku menyimpannya di situ. Karena dulu adik perempuanku selalu ingin tau apa isi buku diaryku. Jadilah aku harus menyimpannya sembunyi-sembunyi.
Aku mulai membuka halaman pertama. Seperti buku diary yang lainnya. Selalu diawali dengan biodata pemiliknya. Begitu pun dengan buku diary yang kumiliki ini. Tulisan tanganku yang masih acak-acakan memenuhi halaman pertama dan ditambah pula dengan hiasan yang berwarna-warni. Sebelum aku membuka halaman berikutnya, selintas beberapa kenangan memenuhi ingatanku. Semua tentang lelaki pujaan hatiku saat itu. Halaman berikutnya mulai kubuka.
Diary.....
Aku menyukai seseorang di kelasku sejak kelas 2 SD. Entah mengapa aku selalu senang berada di dekatnya. Namanya Dimas. Memang, usiaku masih sangat kecil saat itu. Tapi mungkin saat itu aku menyukainya sebagai seorang sahabat. Ia duduk tepat di sampingku. Aku satu meja dengannya! Setiap hari setiap aku berada di sekolah, ketenangan dan rasa senang itu selalu datang tiap kali aku bersamanya.
Wajahnya begitu manis. Tatapan matanya tajam. Hatinya lembut. Tutur katanya selalu membuat hatiku berbunga-bunga. Hal itu kurasakan sampai saat ini. Meskipun sejak kelas 3 SD aku sudah tidak lagi duduk di sampingnya, tapi rasa itu terus membekas di hati.
Seiring waktu yang berjalan, aku tidak pernah tau apakah ia menyukaiku juga atau tidak. Sampai kini aku telah menginjak kelas enam. Pertanyaan itu belum juga terjawab. Diary, bagaimana dengan hati ini? Pantaskah aku masih mengharapkannya?
Aku menghela nafas perlahan. Ini adalah kisah cinta pertamaku. Kisah tentang pertama kalinya aku menyukai lawan jenisku. Aku ingat, dulu aku memang cukup dekat dengannya saat itu. Aku banyak tau tentang dirinya. Aku dan dia banyak bercerita tentang kisah kami masing-masing. Tapi itu benar-benar kisah cintaku yang awal. Dan aku masih punya kisah cinta berikutnya di halaman lain. Halaman kedua selesai kubaca, aku lalu membuka halaman berikutnya. 
Diary.............
Hari ini adalah hari bahagia dalam hidupku. Hatiku berbalas. Dimas menyukaiku! Kau tau, sepulang sekolah tadi Dimas menghampiriku. Tanpa basa-basi, ia langsung menyatakan perasaannya padaku. Ia bilang ia menyukaiku. Sama seperti aku menyukainya. Rasa itu terajut sejak kelas 2 SD. Kini aku sudah menginjak kelas satu SMP. Hatiku benar-benar berbunga rasanya. Mulai hari ini, aku jadian dengannya. Kurasa, aku akan benar-benar nyaman bersamanya seperti dulu.
@
Aku dan sahabatku duduk di bawah rindangnya pepohonan yang cukup rimbun. Sinar matahari memang sangat menyengat siang ini. Aku menghela nafas panjang sambil melamun. Tatapan mataku kosong ke arah lapangan.  Sahabatku, Tia hanya terdiam melihatku seperti ini. Ia sudah tau kebiasaanku. Setiap aku mengajaknya untuk duduk di bawah pohon ini, aku selalu melamun. Karena itulah ia tak berani mengatakan sepatah katapun sampai aku yang memulainya.
“Tia. Kamu nggak apa-apa aku ajak ke sini lagi?” tanyaku akhirnya.
“Ya...aku sudah biasa kok! Kamu santai aja dulu. Pikirin dulu semua masalah kamu. Kalau kamu udah capek dan belum juga nemuin jalan keluarnya, kamu kan bisa cerita sama aku,” sahut Tia sambil kemudian ia bersandar di punggungku.
“Maaf ya. Seminggu ini aku udah ngajak kamu ke sini sampai 3 kali. Dan aku belum cerita apa-apa sama kamu,”
“Nggak apa-apa kok! Udah, kamu tenangin pikiran kamu aja dulu. Aku masih betah kok nemenin kamu di sini,”
“Betah? Betah kenapa?” tanyaku.
“Tuh di ujung lapangan ada Randra, Aldo, sama Ferry lagi ngobrol,” ucap Tia sambil menunjuk ke ujung lapangan.
“Memangnya kalau mereka lagi ngobrol di sana kenapa?” tanyaku.
“Aku lagi ngefans sama Aldo. Ingin menatapnya sepuas hati meskipun dari jarak yang jauh,”
“Dasar! “
Kulihat Tia hanya tersenyum. Ia lalu meneruskan tatapannya pada Aldo. Aku tak perduli pada mereka bertiga yang ada di ujung lapangan itu. Pikiranku sedang kacau. Banyak kejadian aneh yang menimpaku selama satu minggu ini. Tia belum kuberi tau kalau hal yang mengganggu pikiranku adalah Aldo, Randra, dan Ferry. Mereka bersikap aneh padaku setiap harinya. Belum lagi tentang Dimas. Aku melihatnya bersama Fita sepulang sekolah. Fita adalah anak baru pindahan dari Semarang. Sejak kedatangan Fita, Dimas perlahan mulai terasa jauh. Ia jadi jarang sekali menghampiriku di waktu istirahat. Sepertinya mereka semakin dekat. Aku menghela nafas panjang. Angin sejuk semilir melewati wajahku. Sejuk. Rasanya aku ingin tertidur saja. Melupakan semua masalah yang mengganjal. Aku pindah tempat duduk. Kusandarkan tubuhku pada batang pohon. Aku mulai memejamkan mataku perlahan dan....
“Gin, Aldo jalan ke sini!” tiba-tiba Tia berteriak histeris.
”Biarin aja. Memangnya kenapa kalau dia jalan ke arah sini?” kataku tetap tak perduli.
“Kita tanya yuk apa yang mereka omongin barusan!” ajak Tia sambil menarik lenganku. Aku diam saja. Aku tak perduli dengan Aldo. Mataku mulai kupejamkan.
@



“Pokoknya kita putus!” ucapku lantang sambil menatap tajam Dimas.
“Memangnya kenapa?” tanya Dimas.
“Aku udah capek kamu bohongin terus. Kamu dekat dengan Fita kan?! Kamu nggak usah ngelak lagi. Kemarin aku liat kamu jalan sama dia di mall. Pantas saja kamu nggak mau jalan sama aku kemarin. Padahal kamu bilang, kamu mau kerja kelompok, nggak taunya kamu malah jalan sama Fita!”
“Tapi aku nggak mau putus sama kamu, Gin. Kamu....first love aku,” mata Dimas menatapku lembut.
“Aku nggak perduli! Pokoknya kita putus!” ucapku. Aku lalu pergi darinya. Mataku berair. Dimas tidak mengejarku. Ia hanya diam menerima keputusanku. Sudah dua tahun aku dengannya. Kini kisah itu berakhir dengan kata putus dariku.
@
Diary.........
            Sekarang ini aku sudah menginjak kelas satu SMA. Hari pertamaku di SMA sangat menyenangkan. Banyak teman SMP yang masih sekelas denganku saat ini. Termasuk Dimas.
Oh, ya kemarin di sekolah Tia banyak bercerita padaku tentang Aldo, Randra, dan Ferry. Sikap aneh mereka padaku sejak SMP itu kini mulai bisa kumengerti apa sebabnya.
            Sudah selama ini Aldo dan Ferry terus mendekatiku. Mereka yang semula jauh, seakan-akan selalu berada di dekatku sejak SMP. Bahkan mereka banyak mengajakku mengobrol setiap harinya. Tapi berbeda dengan Randra. Ia lebih banyak diam jika ada di dekatku. Matanya sering menatapku dengan tatapan yang tajam. Benar-benar misterius. Ia bahkan tak banyak bicara. Hanya menatapku.
            Tetapi beberapa hari yang lalu, mereka membawaku ke masa lalu. Mereka terus mengungkit-ungkit kisahku dengan Dimas. Aku ingin menangis. Entahlah...hal yang mereka lakukan sering sulit kupahami.
            Sewaktu pertemuan Tia dan Aldo di lapangan siang itu, ternyata mereka banyak mengobrol sementara aku tertidur di bawah pepohonan. Aldo banyak bercerita tentang apa saja yang baru saja mereka bicarakan di ujung lapangan saat itu. Aldo bilang kalau sebenarnya Randra menyukaiku. Entah apa yang harus kurasakan saat ini. Tak ada yang bergetar di hatiku ketika aku mendengar hal itu. Benarkah hal itu ? Aku pun masih ragu saat ini.
            Aku tersenyum sesaat setelah membaca halaman ini. Ini adalah awal kenangan manis yang kumiliki. Pertama kalinya kudengar ada seseorang yang menyukaiku dengan sebunyi-sembunyi. Tanganku sudah mulai gatal untuk membaca halaman berikutnya.
Diary............
            Siang tadi aku melihat Dimas dan Fita bersama. Mereka mengobrol di tempat duduk Aldo. Ada rasa miris di hatiku. Mungkin rasa ini adalah setitik cemburu di hatiku. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sangat cukup membuat hatiku berhenti berharap padanya. Yang kutau sampai saat ini mereka hanya sebatas dekat saja. Tapi kemudian aku benar-benar terkejut dengan berita yang baru saja kudengar setelah mereka berdua selesai mengobrol. Tia bilang kalau Dimas dan Fita sudah jadian selama satu tahun. Selama itukah? Mengapa aku baru mengetahui hal itu? Tia bilang ia tidak mau sampai aku mengetahui hal ini. Ia tidak mau aku sakit hati.
Hatiku baru benar-benar sakit setelah kutau hal yang sebenarnya. Harapanku benar-benar tertelan ke dasar bumi. Harapan yang sangat sulit untuk kugapai lagi. Jujur kuakui aku memang masih berharap sampai saat ini. Walaupun aku yang memutuskan hubungan saat itu, tapi hatiku berharap ia masih menyukaiku. Tapi aku kini mengerti kalau Dimas benar-benar sudah menyukai Fita. Mungkin sejak pertama kali mereka bertemu.
            Sementara itu, ketika mataku hampir basah, Aldo, Ferry, dan Randra menghampiriku. Mereka mengajakku dan Tia untuk jalan-jalan ke mall hari Minggu besok. Aku menuruti saja ajakan mereka. Ya....hitung-hitung untuk menghibur hatiku yang sakit ini.
@
            “Do, kamu aja yang bawa motorku. Perjalanan cukup jauh. Aku nggak berani bawa motor sejauh itu,” ucap Tia sambil memberikan kunci motornya pada Aldo.
            “Terus, Ti. Kita naik motor yang mana?” tanyaku.
            “Mm...gini deh. Aku dibonceng sama Aldo. Kamu sama Randra aja ya, Gin!”  ucap Tia sambil menaiki motor dan duduk di belakang Aldo.
            “Bener tuh! Randra kamu bonceng Ginsha ya! Eh, ya kita jalan duluan nih! Bye....!” Aldo langsung menyalakan motornya. Tinggallah aku dan Randra yang sama-sama bungkam. Aku takut aku akan salah tingkah di depan Randra.
            “Gin, kita berangkat sekarang. Nanti ketinggalan mereka. Ayo naik!” ajak Randra sambil memberikan helm berwarna biru padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikuti perkataannya.
            Selama perjalanan ini aku dan Randra sama sekali tidak berbicara sepatah katapun. Aku dan Randra sama-sama tak punya pilihan kata untuk diucapkan.
            Tak lama kemudian kami sampai di mall. Aldo dan Tia mengantri tiket bioskop. Aku dan Randra mereka suruh untuk membeli makanan. Sama seperti sebelumnya, aku dan Randra benar-benar diam. Tak ada suara yang keluar selain hanya sekadar bertanya tentang hal yang sedang kami lakukan saat ini. Memilih makanan.
            Setengah jam kemudian film akan segera dimulai. Kami berempat mencari tempat duduk sesuai tiket yang kami miliki. Sepertinya hal ini memang benar-benar sudah direncanakan. Buktinya, aku dan Randra benar-benar duduk bersebelahan. Sepertinya aku harus menuruti jalan cerita yang mereka rencanakan ini. Lima menit berlalu. Film sudah mulai diputar. Bangku sebelah kananku tempat Randra duduk. Dan bangku sebelah kiriku masih kosong.
            “Gin, aku boleh minta maaf sama kamu?” tanya Randra tiba-tiba.
            “Minta maaf soal apa?” tanyaku sambil mataku tetap ke layar.
            “Kalau mungkin aja kamu pernah merasa nggak enak gara-gara aku,”
            “Nggak enak kenapa? Aku nggak apa-apa kok, Dra. Kamu kan nggak pernah bikin aku sakit hati. Nggak usah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar