Rabu, 13 Oktober 2010

Tentang Cinta

apakah kamu tahu...
tentang cinta
yang datang, memberikan senyuman
yang pergi, meninggalkan luka
dendam,
dan amarah

aku ingin kau tahu
tentangku...
yang datang, memberikan cinta
yang pergi, tergores luka
karenamu...
karena cintamu

lagi-lagi sepenggal puisi kubuat di sela-sela waktu istirahat. Sambil menikmati angin sepoi yang bertiup di bawah pohon, aku kembali membayangkan masa lalu. Yah, masa lalu. Karena aku masih belum berani menatap masa depan. Beberapa bulan yang lalu, hidupku sempurna. Aku memiliki segalanya; keluarga yang hangat, teman-teman yang baik, karir yang menjanjikan, dan pastinya seorang kekasih. Namun, semua kebahagiaan itu sirna saat seorang “Cinta” datang. “Cinta”. Wanita 23 tahun itu datang ke kantorku dan merebut segalanya dariku. Cinta begitu periang. Ia mudah akrab dengan orang lain, dan mudah dipercaya. Seolah-olah telah kedatangan seorang peri dari langit, bos-ku memecatku. Posisiku di kantor diganti oleh Cinta. Keluargaku bersedih, dan pacarku direbut. Bagaimana dengan teman-teman yang baik?? Ya, mereka memang teman-teman yang baik, karena setidaknya mereka masih memberiku dukungan moril dan mencoba membantuku mencari pekerjaan lain.
“Hmmmmh….” Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya mencubit pipiku dengan kencang dan berteriak, “Ini mimpi!!! Aku tidak kehilangan segalanya!!”. Tapi, dicubit berapa kali pun, ini memang kenyataan.
Cinta. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan dia. Mungkin dia memang wanita yang lebih baik daripada aku, baik dalam hal pekerjaan ataupun percintaan. Yah, semoga saja hidup si Raka-mantanku yang bodoh itu- bahagia dengan cinta.
Kini, aku bekerja menjadi kasir di salah satu toko serba ada. Ada sedikit rasa malu ketika bertemu dengan teman-teman di kantor lama yang berbelanja di toko tempatku bekerja. Terkadang mereka mengasihaniku, dan mengucapkan “Tabah ya”. Rasanya kata-kata itu sudah ku dengar ratusan kali. Aku sampai bosan mendengarnya.
“Cam,..” Terdengar suara lembut memanggil.
Aku menoleh, “Raka!”
Raka – pria berumur 25 tahun itu masih mengenakan kemeja kantorannya dan menenteng tas kulit hitam yang cukup besar.
“Ada apa?” Ku pelankan nada suaraku agar terlihat tidak begitu antusias.
Tanpa ekspresi berlebihan Raka memberikan sebuah amplop. Amplop berwarna biru muda dengan aksen bunga putih.
“Apa ini?” Aku tidak berani membukanya. Dibenakku sudah ada banyak pikiran-pikiran negatif yang berkecamuk.
“Undangan pernikahanku. Cinta bilang kamu harus datang.” Ucap Raka.
Hatiku mencelos. Rasanya dalam sekejap ada reruntuhan batu yang menghujamku dari atas langit. Namun aku mencoba tetap berfikir jernih, dan menghela nafas dalam-dalam. Kutenangkan diriku sendiri. Kulirik dari sudut mata, Raka pun rasanya masih tidak tega melihatku.
“Maaf, Cam. Kalo ini terlalu mendadak. Tapi bagaimanapun juga aku gak mau…”
Belum sempat Raka menyelesaikan ucapannya, aku memotongnya, “Ga papa kok, Ka. Selamat ya. Semoga kamu dan Cinta bahagia.”
Aku berusaha untuk tetap tersenyum di depan Raka walaupun sebenarnya hatiku terasa sangat pedih.
***
Aku menikmati kesendirianku di dalam kamar sambil mendengarkan radio. Sang penyiar radio yang asyik cuap-cuap menjadi satu-satunya suara yang terdengar dari kamarku yang cukup kecil itu. Malam ini malam minggu. Pasti banyak pasangan di luar sana. Sejenak aku teringat undangan pernikahan yang diberikan Raka tempo hari. Ku buka laci meja ku, dan berkali-kali aku membolak-balik undangan itu. Aku masih ragu akan datang ke resepsi pernikahan mereka atau tidak.
Jenuh. Aku melempar undangan itu ke atas lantai. Sambil tidur-tiduran kubuka majalah wanita yang baru ku beli tadi pagi. Ku buka secara acak, ada sepenggal kalimat tercetak tebal di salah satu artikel yang kubaca.
If you brave enough to say “Good bye”. Life will reward you with a new “Hello”.
Berulang-ulang ku baca dan kuresapi kata mutiara itu. Ada benarnya juga. Tak ada gunanya menyesali masa lalu. Masa laluku dengan Raka sudah selesai, dan masa lalu takkan bisa diubah. Karena manusia tidak bisa mengulang waktu yang telah berlalu. Lebih baik aku memulai hidupku dari awal lagi. Aku berusaha meyakini diriku, kalau aku harus kuat.
Ku putuskan untuk keluar malam itu juga. Angin malam itu cukup dingin. Aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju taman kota. Seperti perkiraanku, malam ini cukup ramai. Banyak muda-mudi yang berjalan berduaan. Diantara mereka ada juga sekelompok anak-anak remaja yang asyik ngobrol sambil tertawa terbahak-bahak. Aku duduk di dekat air mancur, menikmati pemandangan sekitar. Sambil merapatkan jaketku, ku ambil kopi kaleng yang kubeli di jalan tadi. Hmmm… rasanya tidak buruk juga minum kopi sendirian di taman pada malam hari.
“Cam!”
Kudengar ada yang memanggilku dari samping kanan.
Laki-laki yang memanggilku melambaikan tangannya. Dengan penuh senyum ia melangkahkan kakinya yang panjang menuju tempatku duduk.
“Bri, kok ada di sini? Ngapain?” Tanyaku begitu laki-laki berbaju biru itu mendekat.
Brian adalah rekanku di kantor lama. Kami satu divisi. Kami memang jarang ngobrol, tapi dua tahun menjadi rekan kerjanya membuatku cukup mengenali karakternya yang selalu ceria dan ramah pada siapapun.
“Kebetulan aku iseng aja jalan-jalan kesini. Kamu sendirian aja, Cam?” Lanjut Brian.
Aku menganggukkan kepala sambil terus menyeruput kopi dalam genggaman tanganku,
Brian duduk di sampingku, “Kamu kerja dimana sekarang? Aku dengar banyak rumor tentang kamu di kantor. Sebentar lagi Raka nikah sama Cinta. Teman-teman di kantor banyak yang khawatir sama keadaan kamu. Kamu ga papa kan?”
“Ga papa kok.” Jawabku pendek disertai senyum palsu.
“Kamu mau datang ke resepsi mereka?” Lanjut Brian semakin serius.
“Ya. Bagaimana pun juga aku pengen Raka bahagia. Walaupun kebahagiaannya bukan bersamaku.” Mataku mulai sembab mendengar pertanyaan Raka tadi. Ku gigit bibirku, mencoba menahan air mataku yang hampir keluar.
Tiba-tiba Brian merangkulku, tangan kanannya mengusap air mataku yang mulai menetes. Ia mengangkat daguku, mata kami saling bertatapan.
“Jangan sedih, ada aku disini. Jangan terus-menerus membawa kepingan dirinya, dong. Aku suka kamu, Cam. Aku janji bakal bikin kamu ngelupain Raka. Dan aku janji kalau aku nggak akan pernah ninggalin kamu.” Ucapnya.
Ucapan Brian membuat air mataku menetes semakin deras. Dalam kehampaan, rasanya aku merasa bahagia mendengar kata-kata itu. Aku ingin dicintai. Aku ingin dilindungi. Aku ingin dimengerti. Bukankah itu hal yang paling diinginkan semua wanita di dunia ini?
Aku tersenyum, dan Brian pun membalas senyumku dengan ceria.
Sejenak terngiang kalimat yang ku baca di artikel majalah tadi, bahwa jika kita cukup berani mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu, hidup akan memberi kita kesempatan untuk menyambut orang baru yang akan menuntun kita menuju masa depan. Kuharap Brian orang yang tepat untuk itu. Kami berdua menghabiskan malam sambil ngobrol bersama. Brian yang ceria bagaikan matahari yang terbit untukku di saat aku tenggelam meratapi malam. Kini, kurasa aku bisa meralat puisi yang pernah kubuat.
apakah kamu tahu...
tentang cinta
yang datang, memberikan senyuman
dan harapan.

karenamu, karena cintamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar