Rabu, 13 Oktober 2010

Ketika Dia Pergi

Pernikahan itu berlangsung amat sederhana. Hanya orangtua kedua belah pihak, dua orang saksi, dan seorang penghulu yang hadir. Tidak ada teman, rekan sejawat, bahkan tak terkecuali Sandra, wanita yang sudah lama hadir dalam kehidupannya. Semua yang ia lakukan adalah demi ibunya. Ketika ia menolak perjodohan itu, ibunya malah masuk rumah sakit.
   Dengan berat hati ia mengiyakan perjodohan itu. Seorang gadis dari anak teman lama ibunya. Biasa-biasa saja, bahkan jauh dari kriterianya. Namanya Murni. Manis, berambut panjang, tinggi sekitar 155 cm, dan menurutnya gadis itu sedikit kuno. Berbeda jauh sekali dengan Sandra yang cantik, energik, seorang model terkenal dan smart.
   Ketika ia protes dengan pilihan ibunya, perempuan tua itu malah tak peduli. Menurut ibunya Murni adalah gadis baik pekertinya dan lebih cocok menjadi istrinya ketimbang Sandra yang sedikit liar. Dan ketika ia meminta pendapat ayahnya, laki-laki tua itu malah setali tiga uang dengan ibunya. Ia tak bisa berkutik dan ia benci dengan semua ini.
   Apa maksud ibunya menjodohkan dirinya dengan gadis yang tidak ia kenal sama sekali? Apakah jaman Siti Nurbaya itu masih berlaku meski dunia sudah sangat modern? Ia hanya bisa meruntuk dirinya sendiri. Tak berdaya. Mungkin itu kata yang tepat bagi dirinya saat ini. Mau memberontak, tapi ia masih menghormati kedua orangtuanya. Mengikuti aturan mereka, berarti ia menjalani hidup tidak sesuai dengan hati nuraninya.
   Andi memandang jalanan yang macet dari balik kaca besar yang ada di kantornya. Jam makan siang sudah tiba tapi ia malas keluar. hatinya saat ini resah. Sudah hampir tiga minggu Murni pergi dari rumahnya. Tidak ada kabar. Hanya sepucuk surat yang ditinggalkan Murni diatas laptopnya. Semula kepergian Murni membuatnya sedikit lega, karena itu berarti semua rencananya akan berjalan sesuai dengan keinginannya.
   Waktu 6 bulan adalah batas yang ia berikan kepada Murni. Itupun tanpa sepengetahuan yang lain bahwa ia akan menceraikan Murni jika diantara mereka tidak ada cinta. Sungguh ironis.
   Murni terkejut ketika pertama kali mendengar permintaan Andi tentang batas waktu itu. Tapi entah kenapa Murni mengiyakan saja. Andi senang karena Murni cukup cooperative meski ia merasa telah membodohi gadis itu. Peduli setan, ujarnya dalam hati.
   Andi memboyong Murni ke rumahnya. Beruntung ia tidak serumah dengan orangtuanya karena ia memiliki rumah sendiri. Ia bebas melakukan apa saja terhadap Murni.
   Murni selalu disuruhnya ini dan itu. Menyiapkan baju kantor sebelum ia berangkat ke kerja, menyiapkan sarapan untuknya tanpa dibantu bibi, dan entah apalagi yang bisa ia perbuat padanya. Taktik yang ia gunakan hanya untuk membuat Murni tidak betah dengan dirinya.
   Tapi kenyataan berkata lain. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membuat Murni tidak betah bersamanya. Bahkan ia pernah mengajak Sandra ke rumahnya dan memperkenalkannya pada Murni bahwa Sandra adalah gadis yang dicintainya. Tapi Murni selalu tersenyum. Bahkan Murni selalu menunggunya pulang walau harus tertidur di depan tv yang menyala. Hal yang tidak pernah ia dapatkan dari diri Sandra, kekasihnya.
   Kini Murni telah pergi. Benar-benar pergi. Perasaan hampa mulai merayapi hati Andi. Tidak ada lagi yang menyiapkan baju kantornya. Tidak ada lagi yang membuatkan sarapan yang lezat untuknya. Bahkan ia tidak lagi melihat Murni tertidur di depan tv yang menyala hanya untuk menunggunya pulang.
   Terkadang Andi termangu sendiri ketika pagi menjelang. Ia terpaksa sarapan diluar, hal yang tidak biasa ia lakukan.
   Belum genap 6 bulan dari perjanjian yang ia buat untuk Murni tapi Murni telah pergi. Murni bilang ia takut menghadapi perceraian. Ia menyerahkan semuanya pada Andi. Salah satu isi surat yang Murni tulis untuk dirinya.
   Andi mendesah. Diusapnya wajahnya berkali-kali. Wajah Murni yang lugu benar-benar menghantui pikirannya.
   Ia ingat bagaimana Murni menitikkan airmatanya ketika ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mencintai Murni, bahwa ia tidak mengharap ada hubungan suami istri diantara mereka. Dan kata-kata yang keluar dimalam sebelum kepergian Murni itu kini amat disesalinya.
   Salah satu isi surat Murni mengatakan bahwa ia mencintai Andi apa adanya, bahwa ia tidak akan sakit hati dengan perlakuan kasar Andi, dan bahwa ia tidak akan meminta pertanggungjawaban Andi jika terjadi sesuatu pada dirinya kelak. Isi surat itu membuat Andi bertanya-tanya. Apa yang telah ia perbuat terhadap Murni?
 ***
   Mobil mewah itu memasuki halaman rumah yang luas. Rumah nampak sepi. Andi masuk kedalam rumah itu dan disambut oleh sepasang suami istri yang menatapnya dengan haru. Ia merasa bersalah pada kedua orangtua itu.
   Andi berjalan kebelakang rumah. Ditengah kebun bunga yang tidak begitu besar itu, Murni sedang sibuk memotongi bunga-bunga yang sudah waktunya untuk dipetik. Lama Andi memandangi Murni dari kejauhan. Benar apa yang dikatakan ibunya bahwa Murni adalah gadis yang cocok untuk dirinya. Meski tidak secantik Sandra, tapi hatinya semurni namanya.
   Tiba-tiba Murni berhenti. Nampak ia memegangi perutnya lalu berlari menuju wastafel. Andi yang melihat Murni mual-mual menjadi kalang kabut dan berlari menghampirinya.
   "Murni, kau kenapa?" tanya Andi gugup dan bingung.
   Murni, yang tertunduk lesu itu, menoleh demi mendengar suara Andi yang berdiri disampingnya. Raut wajahnya yang pucat, menjadi semakin pucat ketika ia melihat Andi yang ada didepannya. Rasa tak percaya dan rasa takut yang ada dalam dirinya, membuatnya mudur selangkah.
   "Mm...mas Andi?" kata itu terlontar dari mulut Murni yang gugup.
   Jantung Andi berdebur kencang. Tak pernah ia merasakan hal ini sebelumnya, perasaan membuncah yang tak tertahankan. Rasa yang tak pernah ia rasakan ketika bersama Sandra.
   "Murni, sejak kapan kau merasakan ini? Maksudku...kau mulai merasa mual-mual." tanya Andi dengan cemas sembari menatap wajah Murni yang pucat.
   Murni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada rasa takut terpeta di wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
   "Aku...aku tidak apa-apa. Mas Andi tidak perlu cemas, ini hanya masuk angin biasa. Ya, hanya masuk angin." jawab Murni dengan mulut gemetar.
   Sekali lagi Andi menata debur jantungnya yang menghentak-hentak. Dengan penuh keberanian, ia menggenggam tangan Murni erat.
   "Jujurlah padaku Murni...aku mohon..."
   Murni tak kuasa menahan airmatanya. Ia terisak. Ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya pada Andi, tapi ia tahu, kedatangan laki-laki itu adalah hal yang sangat menyakitkan bagi dirinya.
   "Apakah kau hamil?"
   Murni terperangah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Andi. Ia menarik tangannya dari genggaman Andi lalu menutup wajahnya. Ia tak kuasa lagi membendung airmatanya.
   "Aku sudah siap dengan surat perceraian itu." kata Murni lirih setelah ia bisa menguasai dirinya.
   "Surat perceraian?"
   "Bukankah mas Andi datang kemari untuk menceraikan saya?"
   Andi menarik tangan Murni dalam genggamannya. Murni terkejut tapi ia membiarkan hal itu.
   "Maafkan aku karena aku telah menyakitimu selama ini. Malam itu aku benar-benar khilaf. Aku...banyak sekali beban dalam pikiranku. Pekerjaan di kantor, rapat sana- sini, belum lagi masalah dengan Sandra. Akhirnya aku dan teman-teman keluar untuk minum-minum sekedar melupakan semuanya. Dan dalam keadaan mabuk, kau memapahku ke kamar, dan aku telah melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan padamu.
   "Tapi aku malah melanggar komitmenku sendiri. Malam itu aku mengumpat dirimu, marah-marah, dan aku juga tidak sadar dengan apa yang telah aku ucapkan padamu."
   Andi mendesah. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Murni. Airmata Murni kembali berjatuhan membasahi pipinya. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.
   "Murni...maukah kau pulang bersamaku? Aku tidak sanggup lagi berjauhan denganmu karena aku mulai mencintaimu, aku..."
   Andi tersenyum bahagia manakala Murni memeluk dirinya erat. Ia tahu wanita itu sangat mencintainya. Wanita yang masih sah sebagai istrinya.
   Tanpa mereka sadari, dari balik pintu dapur, dua pasang mata menitikkan airmata bahagia.
*END*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar